Wednesday, March 18, 2009

Susut Panen Padi

Tingkat susut panen padi bisa ditekan. Berdasarkan hasil survei susut panen dan pasca panen gabah beras kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Pertanian Tahun 2005, 2006, 2007 bila dibandingkan hasil survei yang sama tahun 1995dan 1996 menunjukkan, bahwa terjadi penurunan susut sebesar 9,69% dari 20,51% (BPS 1995/96) menjadi 10,82% (BPS 2005/2007). Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan mengungkapkan bahwa penurunan yang sangat signifikan tersebut diduga karena adanya perbedaan metode pengukuran susut yang digunakan dan adanya perbaikan penanganan pasca panen selama 13 tahun terakhir seperti pembinaan dan pengembangan kelembagaan pasca panen berbasis gapoktan, penerapan sarana dan teknologi alat mesin pasca panen tepat guna, peningkatan kemampuan dan ketrampilan petani/gapoktan, pendampingan, supervisi, serta pengawalan dibidang teknis dan manajemen usaha pasca panen.

Data BPS tersebut mengungkapkan susut panen dan perontokan padi mengalami penurunan sebesar 12,92% atau regu-regu panen 10-15 orang, dimana 8-10 orang bertugas memotong padi dengan mesin panen padi tipe gendong, 2-3 orang mengumpulkan gabah dan merontok dengan menggunakan terpal.

Susut pengeringan mengalami peningkatan sebesar 1,14% dan konversi dari gabah kering giling (GKG) mengalami penurunan sebesar 0,49%. Hal ini disebabkan oleh kenyataan petani pada umumnya masih menggunakan matahari (lantai jemur) dan hanya sedikit petani yang melakukan pengeringan dengan mesin pengering (dryer). Susut penggilingan mengalami peningkatan sebesar 1,06% dan konversi gabah kering giling (GKG) ke beras (rendemen penggilingan) mengalami penurunan sebesar 0,46%. Hal ini disebabkan oleh mesin penggilingan yang ada relatif sudah tua yaitu berumur lebih dari 10 tahun dan masih menggunakan konfigurasi sederhana dengan sistem 1 phase (1 kali penyosohan).


(pasca panen : dari berbagai macam sumber)

Monday, March 16, 2009

Functional Foods

DALAM kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang optimal. Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah fungsi primer (primary function).

Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian dikenal sebagai fungsi tertier (tertiary function).

Saat ini banyak dipopulerkan bahan pangan yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu di dalam tubuh, misalnya untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah, meningkatkan penyerapan kalsium, dan lain-lain. Menurut Goldberg dalam Astawan, 2008 disebutkan bahwa dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya. Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Kenyataan tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak lagi hanya memenuhi kebutuhan dasar tubuh, tetapi juga dapat bersifat fungsional. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia.

Fenomena pangan fungsional telah melahirkan paradigma baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi pangan, yaitu dilakukannya berbagai modifikasi produk olahan pangan menuju sifat fungsional. Saat ini, di Indonesia telah banyak dijumpai produk pangan fungsional, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor. Sejak tahun 1984, Pemerintah Jepang telah menyusun suatu alternatif pengembangan pangan fungsional dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis, agar dapat melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes, osteoporosis, dan kanker. Diharapkan dengan pengembangan pangan fungsional dapat meningkatkan derajat kesehatan serta menekan biaya medis bagi masyarakat Jepang.

Istilah pangan fungsional merupakan nama yang paling dapat diterima semua pihak untuk segolongan makanan dan atau minuman yang mengandung bahan-bahan yang diperkirakan dapat meningkatkan status kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu. Istilah health food sebelumnya lebih menarik dan berarti bagi konsumen, tetapi hal ini tidak dapat digunakan lagi karena pada prinsipnya semua bahan pangan akan menyehatkan tubuh bila dikonsumsi secara baik dan benar. Istilah yang pernah diusulkan sebelumnya untuk pangan yang menyehatkan adalah designer food, pharmafoods, vitafoods dan nutraceutical, tetapi semua istilah ini kurang tepat karena bentuknya disamakan dengan food supplement yang merupakan suplemen zat gizi dan non gizi yang berbentuk seperti obat (kapsul ataupun tablet). Sedangkan pangan fungsional bentuknya merupakan makanan atau minuman tetapi mengandung komponen aktif yang menyehatkan (Ardiansyah, 2008).

Sampai saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal. The International Food Information (IFIC) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat dasar. Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.

Definisi pangan fungsional menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK. 00.05.52.0685 Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan.

Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan POM, 2001). Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan dan obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit. Tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu: (1) sensory (warna dan penampilannya yang menarik dan cita rasanya yang enak), (2) nutritional (bernilai gizi tinggi), dan (3) physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh).

Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain adalah: (1) pencegahan dari timbulnya penyakit, (2) meningkatnya daya tahan tubuh, (3) regulasi kondisi ritme fisik tubuh, (4) memperlambat proses penuaan, dan (5) menyehatkan kembali (recovery).

Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredien) alami, (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi. Peranan dari makanan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu kepada komponen gizi dan non gizi yang terkandung di dalamnya. Komponen-komponen tersebut umumnya berupa komponen aktif yang keberadaannya dalam makanan bisa terjadi secara alami, akibat penambahan dari luar, atau karena proses pengolahan (Astawan, 2008).

Contoh-contoh komponen aktif yang terdapat secara alami dalam bahan pangan adalah: (1) nerodiol dan linalool pada teh hijau yang berperan untuk mencegah karies gigi dan mencegah kanker; (2) komponen sulfur pada bawang-bawangan yang berfungsi untuk mencegah agregasi platelet dan menurunkan kadar kolesterol; (3) kurkumin pada rimpang kunyit dan l-tumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk pengobatan berbagai penyakit; (4) daidzein dan genestein pada tempe yang berperan untuk menurunkan kolesterol dan mencegah kanker; (5) serat pangan (dietary fiber) dari berbagai sayuran, buah-buahan, serealia, dan kacang-kacangan yang berperan untuk pencegahan timbulnya berbagai penyakit yang berkaitan dengan proses pencernaan; serta (6) berbagai komponen volatil yang terdapat pada bunga melati (jasmin), chrysant dan chamomile yang aromanya sering digunakan sebagai aromaterapi.

Pangan fungsional dapat berupa makanan dan minuman yang berasal dari hewani atau nabati. Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa tahun belakangan ini, tetapi sesungguhnya banyak jenis makanan tradisional yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pangan fungsional. Contoh pangan tradisional Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan fungsional adalah: minuman beras kencur, temulawak, kunyit-asam, serbat, sekoteng atau bandrek, tempe, tape, jamu, dan lain-lain.

Untuk tujuan kesehatan, sudah tiba saatnya kita mulai menggunakan pola konsumsi yang sehat. Salah satu diantaranya dengan mengkonsumsi produk pertanian kita seperti buah, sayur maupun biofarmaka, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Buah dan sayuran mengandung berbagai komponen penting yang tidak dapat disintesa dalam tubuh manusia dan tidak tersedia pada jenis bahan pangan lainnya. Macam-macam bentuk olahan pangan dari buah dan sayur ataupun biofarmaka yang memiliki fungsi fisiologis antara lain sekoteng, seduhan jeruk nipis , mix fruit juice, dan banyak lagi hidangan lezat lainnya yang kaya akan komponen aktif.

Oleh karena itu, perlu adanya diversifikasi jenis pangan olahan yang memiliki sifat fisiologis dengan memanfaatkan keanekaragaman buah, sayur, maupun biofarmaka yang ada disekitar kita, dimana selain memberikan manfaat bagi kesehatan, secara tidak langsung akan memberikan dampak yaitu meningkatnya nilai tambah dan daya saing.


(pipiet : dari berbagai macam sumber)